INDONESIAN UNDERCOVER IMPACT OF MASONIC ILLUMINATI`S

Indonesian Undercover Impact of Masonic Illuminati's Patern of Thought (millah) on the country



Watch This Before Reading :  
- " Indonesia Undercover Impact of Masonic Illuminati's Patern of Thought (millah) on the country "-




Privatization, also spelled privatisation, may have several meanings. Primarily, it is the process of transferring ownership of a business, enterprise, agency, public service or public property from the public sector (a government) to the private sector, either to a business that operate for a profit or to a non-profit organization. It may also mean government outsourcing of services or functions to private firms, e.g. revenue collection, law enforcement, and prison management.
Privatization has also been used to describe two unrelated transactions. The first is the buying of all outstanding shares of a publicly traded company by a single entity, taking the company private. This is often described as private equity. The second is a demutualization of a mutual organizationor cooperative to form a joint stock company. 
Kontroversi
Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.



Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para pejabat pemerintah menunjukkan,Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.



Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.


Menyadap e-mail


Menurut seorang pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka lakukan. Freeport menolak mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan dengan perwira-perwira intelijen TNI, mulai menyadap korespondensi e-mail dan percakapan telepon lawan-lawan aktivis lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam kegiatan ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.


Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sendiri untuk mencuri berita-berita melalui e-mail. Caranya adalah dengan membentuk sebuah kelompok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang berminat untuk mendaftar secara online dengan menggunakan kode rahasia (password) tertentu. Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang sama seperti yang mereka gunakan untuk e-mail mereka. Dengan cara ini, Freeport dengan gampang mencuri berita. Menurut seseorang yang waktu itu bekerja untuk perusahaan ini, awalnya para pengacara Freeport khawatir dengan pencurian ini. Tetapi, mereka kemudian memutuskan, secara legal perusahaan itu tidak dilarang untuk membaca e-mail pihak-pihak di luar negeri.


FREEPORT - PYRAMID

Hubungan Freeport dan TNI


Selama bertahun-tahun, Free­port memiliki unit pengaman­an­nya sendiri, sementara militer In­donesia meme­rangi perlawanan se­paratis yang lemah dan rendah ge­rakannya. Ke­mudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait.


Tidak ada investigasi yang me­nemukan keterkaitan Freeport se­ca­ra langsung dengan pe­lang­ga­ran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang meng­hu­­bungkan Freeport dengan tin­dak kekerasan yang dila­kukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus keke­ra­san itu dilakukan dengan meng­gu­­na­kan fa­si­litas Freeport. Seo­rang ahli antro­pologi Australia, Chris Ballard, yang pernah be­kerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, mem­­­perkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer an­tara tahun 1975–1997 di dae­rah tambang dan sekitar­nya.


Pada bulan Maret 1996, kemarahan terhadap peru­sa­haan pecah dalam bentuk ke­ru­suhan ketika sen­ti­men anti-pe­rusahaan dari beberapa ke­lompok yang berbeda bergabung.
Free­port menyadap berita-berita da­lam e-mail. Menurut dua orang yang mem­baca e-mail-e-mail itu pa­da saat itu, ada unit-unit militer tertentu, ma­sya­rakat se­tem­pat, dan kelompok-ke­lom­­pok ling­­kung­an hidup yang be­ker­ja­sama. Sebuah pertukaran informasi de­ngan menggunakan e-mail an­ta­ra seorang tokoh masyarakat de­ngan pimpinan organisasi ling­kungan hidup penuh dengan tak­tik intelijen militer. Dalam e-mail yang lain, seorang pimpinan or­ga­nisasi lingkungan meminta pa­ra ang­gotanya mundur karena de­monstrasi telah berubah menjadi ke­rusuhan.


Dari wawancara yang dila­ku­kan, bekas pejabat dan pejabat Free­port menyatakan, mereka terkejut melihat sejumlah orang de­ngan potongan ram­but militer, me­ngenakan sepatu tem­­pur dan meng­genggam radio wal­kie-tal­kie di antara para perusuh itu. Orang-orang itu terlihat menga­rah­kan kerusuhan itu, dan pada sa­tu ke­ti­ka, mengarahkan massa menuju ke la­bo­­ratorium Freeport yang ke­mudian me­reka obrak-ab­rik.


Keamanan
Dokumen-dokumen Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer. Setiap komandan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam dokumen itu.


Dokumen-dokumen itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang yang dekat dengan Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan Freeport sendiri, dokumen-dokumen itu asli alias otentik. Dalam respon tertulisnya kepada New York Times, Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai dengan undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja yang aman bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya. Freeport juga mengatakan tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan hubungan dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan bisnis biasa.


Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer — barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan — dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini sudah merekrut seorang bekas agen lapangan CIA, dan atas rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya untuk bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer Amerika Serikat direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama Perencanaan Operasi Darurat (Emergency Planning Operation) didirikan untuk menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia.


Departemen Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan pembayaran bulanan kepada para komandan TNI, sementara kantor Pengelolaan Risiko Keamanan (Security Risk Management office) mengatur pembayaran kepada polisi. Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan dan keterangan bekas karyawan dan karyawan Freeport. Menurut dokumen perusahaan, Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.


New York Times menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun dari seorang yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga tahun diberikan oleh Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan pada bulan Juli, yang berjudul Paying for Protection (Bayaran Perlindungan) tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia. Diamird 0'Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness di London, mengkritik pembayaran yang dilakukan Freeport itu. 
Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterimaNew York Times menunjukkan adanya pembayaran kepada perwira-perwira militer secara perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik seperti biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan bulanan. Para komandan yang menerima dana tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima. 
Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada alasan yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secara langsung kepada para perwira militer itu.


Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan pasukan di daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan tahun 2001, ia diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya makanan, dan lebih dari 150.000 dolar pada tahun berikutnya. Pada tahun 2002, Freeport juga memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk biaya makan. 
Menurut para bekas karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis, dan para perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun 2002 untuk dirinya dan anggota keluarganya.


Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan, para perwira polisi dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi adalah melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai. Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam buku keuangan Freeport sebagai "dana untuk rencana proyek militer tahun 2002".


Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari 67.000 dolar untuk proyek aksi sipil kemanusiaan. Pembayaran-pembayaran ini pertama kali dilaporkan Global Witness. Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai. 
Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktik-praktik akuntansi keuangan yang lebih ketat pada perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit militer ketimbang kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan yang tersedia dan seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan perusahaan ini. 
Menurut catatan, perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah angka 1 juta dolar pada tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti "tambahan pembayaran bulanan," "biaya administrasi" dan "dukungan administratif." Freeport menyatakan kepada New York Times, di dalam menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan kebijakan perusahaan untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.” Menurut catatan yang diterima oleh New York Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar pada tahun 2003. [1]


Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., atau Freeport NYSE: FCX adalah salah satu produsen terbesar emas di dunia. Perusahaan Amerika ini memiliki beberapa anak perusahaan termasuk PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals and Atlantic Copper, S.A. 
Perusahaan Amerika Freeport Sulphur yang bermarkas di New Orleans adalah perusahaan asing pertama yang memperoleh ijin usaha dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967, setelah kejatuhan Presiden Soekarno oleh Presiden Soeharto. PT Freeport Indonesia merupakan pengelolah TambangGrasberg di Papua, Indonesia, yang merupakan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Tambang ini juga mengandung tembaga dan perak untuk pasar dunia.


Bagi rezim Soeharto, Freeport adalah faktor penting baik di bidang politik dan ekonomi. Presiden Soeharto menggambarkan Freeport sebagai perusahaan pembayar pajak terbesar, investor terbesar dan terlibat dalam kegiatan sosial terbesar di Indonesia. Dari segi methode pertambangan dan segi investor asing, adalah perusahaan yang paling kontroversial. [2].



NEWMONT - PYRAMID

Buyat Bay, Sulawesi, Indonesia


In August 2004, the Indonesian Ministry of Environment filed a US$133.6 million civil lawsuit against Newmont, claiming tailings from the company's Minahasa Raya mine polluted Buyat Bay in the North Sulawesi province, contaminating local fish stocks and causing nearby villagers to become seriously ill. Newmont denied the allegations, arguing that the illnesses had more to do with poor hygiene and poverty. On November 15, 2005, a South Jakarta court dismissed the suit on technical grounds, saying the government had breached the terms of its contract with Newmont when it took legal action before seeking arbitration. Environmentalists urged for the suit to be appealed, but on December 1, 2005, Environment Minister Rachmat Witoelar said the government expected to reach an out-of-court settlement with Newmont's local subsidiary. "By negotiating a settlement, we hope to be able to quickly compensate people living near the mine," he said. The government negotiating team was led by chief Economics Minister Aburizal Bakrie. On February 16, 2006, the Indonesian government announced it would settle the civil suit for US$30 million to be paid over the next 10 years. The agreement also includes increased scientific monitoring and enhanced community development programs for the North Sulawesi province.


With the civil lawsuit settled, attention focused on the criminal charges against President Director Richard Ness. In December 2006, Newmont Mining Corp. objected to a documentary entitled Bye Bye Buyat being nominated for Indonesia's top film award, FFI's Citra Award. The company said that it interfered with Ness' ongoing trial. After a 21-month trial—one of the longest proceedings in Indonesian history—Ness was found innocent of the pollution charges on April 24, 2007. The court found that the company was in compliance with all regulations and permits during its operations at the site, and failed to find evidence beyond a reasonable doubt that Nemont's subsidiary had polluted Buyat Bay. At the end of May, the prosecution appealed to the Supreme Court to overturn the ruling. 
A week after being found not guilty of criminal charges, Richard Ness sued The New York Times in Indonesian court for libel. The lawsuit asks for nearly US$65 million in damages, and that The New York Times print a page-one retraction of previously published articles. [3]



EXXON MOBIL

ExxonMobil has been a contributor to environmental causes (the company donated $6.6 million to environmental and social groups in 2007). Its environmental record has been a target of critics from outside organizations such as the environmental lobby groupGreenpeace as well as some institutional investors who disagree with its stance on global warming. The Political Economy Research Institute ranks ExxonMobil sixth among corporations emitting airborne pollutants in the United States. The ranking is based on the quantity (15.5 million pounds in 2005) and toxicity of the emissions. In 2005, ExxonMobil had committed less than 1% of their profits towards researching alternative energy, less than other leading oil companies. [4]


The Rockefeller wealth, distributed as it was through a system of foundations and trusts, continued to fund family philanthropic, commercial, and, eventually, political aspirations throughout the 20th century. Grandson David Rockefeller was a leading New York banker, serving for over 20 years as CEO of Chase Manhattan (now part of JPMorgan Chase) [5]

Share on Google Plus

About octadandy

    Blogger Comment
    Facebook Comment